Senin, 31 Oktober 2011

Puasa Sunnah 9 Dzulhijjah (Hari Arafah)

Keutamaan Puasa Hari Arafah



Ibadah tathawwu’ (sunnah; yang dianjurkan) merupakan perkara yang akan menambah pahala, menggugurkan dosa-dosa, memperbanyak kebaikan, meninggikan derajat, dan menyempurnakan ibadah wajib.
Allah Ta’ala berfirman,
فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ
“Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya.” (Qs. al-Baqarah: 184).
Demikian juga, hal itu merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, setelah melakukan kewajiban-kewajiban. Karena, mendekatkan diri kepada Allah itu dengan cara beribadah kepada-Nya dengan ibadah yang hukumnya wajib atau mustahab (yang disukai; sunnah). Mendekatkan diri kepada-Nya bukan dengan ibadah yang bid’ah tanpa bimbingan sunnah atau dengan kebodohan tanpa bimbingan ilmu. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits qudsi sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, Allah berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku [Wali Allah adalah orang yang beriman dan bertakwa-pen.], maka Aku mengumumkan perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah nafilah (sunnah; tambahan; yang dianjurkan) sehingga Aku mencintainya.‘” (HR. Bukhari, no. 6502).

Di dalam hadits di atas terdapat dalil, bahwa barangsiapa yang menghendaki dicintai oleh Allah, maka urusannya mudah baginya, jika Allah memudahkannya padanya. Yaitu dia melakukan kewajiban-kewajiban dan melakukan ibadah-ibadah tathawwu‘ (sunnah), dengan sebab itu, dia akan meraih kecintaan Allah dan walayah (perwalian) Allah.” (Al-Fawaid adz-Dzahabiyah Minal Arba’in Nawawiyah, hal. 143).
Kemudian, di antara amalan tathawwu’ yang utama adalah puasa. Karena, puasa merupakan ibadah yang dapat mengekang nafsu dari keinginannya. Puasa juga akan mengeluarkan jiwa manusia dari keserupaan dengan binatang menuju keserupaan dengan malaikat. Karena orang yang berpuasa meninggalkan perkara yang paling lekat pada dirinya, yang berupa makanan, minuman, dan berhubungan dengan istrinya, karena mencari ridha Allah. Sehingga, itu merupakan ibadah dan ketaatan yang merupakan sifat malaikat. Sebaliknya, jika manusia mengumbar hawa nafsunya, maka dia lebih mendekati alam binatang.
Keutamaan Puasa Arafah
Di antara puasa tathawwu’ yang paling utama adalah puasa Arafah. Yang dimaksud dengan puasa Arafah adalah puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah. Pada saat itu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji berkumpul wukuf di padang Arafah.
Sebagian orang mendapatkan masalah ketika mendapati tanggal/kalender di negaranya berbeda dengan di Arab Saudi. Maksudnya, pada hari ketika jamaah haji sedang berkumpul di Arafah, yang hari itu adalah tanggal 9 Dzulhijjah di negara Arab Saudi, tetapi kalender di negaranya pada hari itu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, umpamanya. Maka, apakah dia berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut kalender di negaranya sendiri, padahal di Arab Saudi masih tanggal 8 Dzulhijjah, dan para jamaah haji belum menuju Arafah. Atau dia berpuasa pada tanggal 10 Dzulhijjah menurut kalender di negaranya sendiri dan di Arab Saudi sudah tanggal 9 Dzulhijjah, dan para jamaah haji berkumpul di Arafah.
Dalam hal ini yang menjadi ukuran adalah wuquf di Arafah, bukan kalender di negaranya. Karena di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dengan “puasa hari Arafah”, sehingga mestinya wuquf di Arafah itulah yang menjadi ukuran. Wallahu a’lam.
Keistimewaan Hari Arafah
Hari Arafah memang salah satu hari istimewa, karena pada hari itu Allah membanggakan para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah di hadapan para malaikat-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ
“Tidak ada satu hari yang lebih banyak Allah memerdekakan hamba dari neraka pada hari itu daripada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah mendekat, kemudian Dia membanggakan mereka (para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah) kepada para malaikat. Dia berfirman, ‘Apa yang dikehendaki oleh mereka ini?‘” (HR. Muslim, no. 1348; dan lainnya dari ‘Aisyah).
Olah karena itulah, tidak aneh jika kaum muslimin yang tidak wukuf di Arafah disyariatkan berpuasa satu hari Arafah ini dengan janji keutamaan yang sangat besar.
Marilah kita renungkan hadits di bawah ini, yang menjelaskan keutamaan puasa Arafah, yang disyariatkan oleh Ar-Rahman Yang Memiliki sifat rahmat yang luas dan disampaikan oleh Nabi pembawa rahmat kepada seluruh alam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Puasa satu hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram), aku berharap kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR. Muslim, no 1162, dari Abu Qatadah).
Alangkah pemurahnya Allah Ta’ala. Puasa sehari menghapuskan dosa dua tahun! Kaum muslimin biasa berpuasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan, dan mereka sanggup melakukan. Maka, sesungguhnya berpuasa satu hari Arafah ini merupakan perkara yang mudah, bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala.
Barangsiapa membaca atau mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini pastilah hatinya tergerak untuk mengamalkan puasa tersebut. Karena, setiap manusia pasti menyadari bahwa dia tidak dapat lepas dari dosa.
Dosa Apa yang dihapus?
Apakah dosa-dosa yang dihapuskan itu meliputi semua dosa, dosa kecil dan dosa besar? Atau hanya dosa kecil saja? Dalam masalah ini para ulama berselisih.
Sebagian ulama, termasuk Ibnu Hazm rahimahullah, berpendapat sebagaimana zhahir hadits. Bahwa semua dosa terhapuskan, baik dosa besar, atau dosa kecil.
Namun jumhur ulama, termasuk Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Ibnu Rajab, berpendapat bahwa dosa-dosa yang terhapus dengan amal-amal shalih, seperti wudhu’, shalat, shadaqah, puasa, dan lainnya, termasuk puasa Arafah ini, hanyalah dosa-dosa kecil.
Pendapat jumhur ini di dukung dengan berbagai alasan, antara lain:
Allah telah memerintahkan tobat, sehingga hukumnya adalah wajib. Jika dosa-dosa besar terhapus dengan semata-mata amal-amal shalih, berarti taubat tidak dibutuhkan, maka ini merupakan kebatilan secara ijma’.

Nash-nash dari hadits lain yang men-taqyid (mengikat; mensyaratkan) dijauhinya dosa-dosa besar untuk penghapusan dosa dengan amal shalih.
Dosa-dosa besar tidak terhapus kecuali dengan bertobat darinya atau hukuman pada dosa tersebut. Baik hukuman itu ditentukan oleh syariat, yang berupa hudud dan ta’zir atau hukuman dengan takdir Allah, yang berupa musibah, penyakit, dan lainnya.
4- Bahwa di dalam syariat-Nya, Allah tidak menjadikan kaffarah (penebusan dosa) terhadap dosa-dosa besar. Namun, kaffarah itu dijadikan untuk dosa-dosa kecil (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, syarh hadits no. 18, karya al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali).
Puasa Arafah untuk Selain yang Berada di Arafah
Kemudian, bahwa disunnahkannya puasa Arafah ini berlaku bagi kaum muslimin yang tidak wuquf di Arafah. Adapun bagi kaum muslimin yang wuquf di Arafah, maka tidak berpuasa, sebagaimana hadits di bawah ini,
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari Ummul Fadhl binti al-Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari, no. 1988; Muslim, no. 1123).
Setelah kita mengetahui keutamaan puasa hari Arafah ini, maka yang tersisa adalah pengamalannya. Karena setiap manusia nanti akan ditanya tentang ilmunya, apa yang telah dia amalkan. Semoga Allah selalu memberikan kepada kita untuk berada di atas jalan yang lurus. Amin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Artikel www.PengusahaMuslim.com/27 Oktober 2010 •oleh: Tim Redaksi •3.
Diberi ilustrasi oleh nahimunkar.com
Dipublikasikan oleh www.kongabay.blogspot.com 1 Nov 2011

Rabu, 26 Oktober 2011

AMALAN" YANG DISYARIATKAN DI 10 HARI AWAL DZULHIJJAH


KEUTAMAAN 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH DAN AMALAN YANG DISYARIATKAN


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin



Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta'ala semata, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah-Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, kepada keluarga dan segenap sahabatnya.

روى البخاري رحمه الله عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام – يعني أيام العشر - قالوا : يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ثم لم يرجع من ذلك بشيء

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun".

وروى الإمام أحمد رحمه الله عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من أيام أعظم ولا احب إلى الله العمل فيهن من هذه الأيام العشر فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

وروى ابن حبان رحمه الله في صحيحه عن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: أفضل الأيام يوم عرفة.

"Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid".

MACAM-MACAM AMALAN YANG DISYARIATKAN

1. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah
Amal ini adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة

"Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah Surga".

2. Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

الصوم لي وأنا أجزي به ، انه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي

"Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku".

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ما من عبد يصوم يوماً في سبيل الله ، إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريف

"Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun". [Hadits Muttafaq 'Alaih].

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والتي بعده .

"Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya".

3. Takbir Dan Dzikir Pada Hari-Hari Tersebut.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

".... dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan ...". [al-Hajj : 28].

Para ahli tafsir menafsirkannya dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma.

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

"Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid". [Hadits Riwayat Ahmad].

Imam Bukhari Rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :

الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ولله الحمد

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu

"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah".

Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya. Sebagaimana firman Allah.

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ

"Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu ...". [al-Baqarah : 185].

Tidak dibolehkan mengumandangkan takbir bersama-sama, yaitu dengan berkumpul pada suatu majlis dan mengucapkannya dengan satu suara (koor). Hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salaf. Yang menurut sunnah adalah masing-masing orang bertakbir sendiri-sendiri. Ini berlaku pada semua dzikir dan do'a, kecuali karena tidak mengerti sehingga ia harus belajar dengan mengikuti orang lain.

Dan diperbolehkan berdzikir dengan yang mudah-mudah. Seperti : takbir, tasbih dan do'a-do'a lainnya yang disyariatkan.

4. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan Dosa.
Sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

ان الله يغار وغيرة الله أن يأتي المرء ما حرم الله علي

"Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya" [Hadits Muttafaq 'Alaihi].

5. Banyak Beramal Shalih.
Berupa ibadah sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.

6. Disyariatkan Pada Hari-Hari Itu Takbir Muthlaq
Yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dan disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama'ah ; bagi selain jama'ah haji dimulai dari sejak Fajar Hari Arafah dan bagi Jama’ah Haji dimulai sejak Dzhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.

7. Berkurban Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-hari Tasyriq.
Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أملحين أقرنين ذبحهما بيده وسمى وكبّر ووضع رجله على صفاحهما

"Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu". [Muttafaq 'Alaihi].

8. Dilarang Mencabut Atau Memotong Rambut Dan Kuku Bagi Orang Yang Hendak Berkurban.
Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضّحي فليمسك عن شعره وأظفاره

"Jika kamu melihat hilal bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya".

Dalam riwayat lain :

فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره حتى يضحي

"Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban".

Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah.

وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّه

"..... dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...". [al-Baqarah : 196].

Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.

9. Melaksanakan Shalat Iedul Adha Dan Mendengarkan Khutbahnya.
Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan ; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti ; nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Hal mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukan selama sepuluh hari.

10. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan ; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kemurahan Allah agar mendapat ridha-Nya.

Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.

والله الموفق والهادي إلى سواء السبيل وصلى الله على محمد وآله وصحبه وسلم .

صدرت بأذن طبع رقم 1218/ 5 وتاريخ 1/ 11/ 1409 هـ
صادر عن إدارة المطبوعات بالرئاسة العامة لإدارات البحوث العلمية والإفتاء والدعوة والإرشاد
كتبها : الفقير إلى عفو ربه
عبدالله بن عبدالرحمن الجبرين
عضو ا

[Disalin dari brosur yang dibagikan secara cuma-cuma, tanpa no, bulan, tahun dan penerbit. Artikel dalam bahasa Arab dapat dilihat di http://www.saaid.net/mktarat/hajj/4.htm] sumber : http://almanhaj.or.id/content/2888/slash/0 Gilroy Sardjono.
Dipublikasikan kembali oleh www.kongabay.blogspot.com 27/10/2011

Selasa, 25 Oktober 2011

Fatwa-Fatwa Tentang Mengolok-olok Islam

Fatwa-Fatwa Tentang Mengolok-olok Islam



Dirangkum oleh Hartono Ahmad Jaiz (4 Agustus 2009)

1. Bercanda yang Mengandung Olok-olok terhadap Allah, Ayat-ayat-Nya, atau Agama Islam

Ada orang yang bercanda dengan perkataan yang mengandung olok-olok/ penghinaan terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya atau agama Islam. (Bagaimana hukumnya)?

Jawab Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin:

Perbuatan ini yaitu mengolok-olok Allah, atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau agama-Nya; walaupun atas jalan gurauan, walaupun pada jalan membuat tertawa kaum, maka itu adalah perbuatan kafir dan munafik (kufur dan nifaq). Perbuatan itulah yang terjadi pada masa Nabi saw pada orang-orang yang berkata: “Belum pernah kami melihat orang seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam perang”, mereka maksudkan adalah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, para ahli membaca Al-Qur’an (al-quro’). Lalu turunlah ayat mengenai mereka:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. (QS At-Taubah/ 9: 65).

Karena mereka datang kepada Nabi dengan berkata, sesungguhnya kami hanyalah mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh, kami dengan mengobrol itu memotong capaiknya perjalanan. Maka Rasulullah saw mengatakan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah:

أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ(65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS At-Taubah/ 9: 65, 66).

Segi Rububiyyah (Ketuhanan), Risalah (kerasulan), wahyu, dan agama adalah segi muhtarom (yang dihormati). Tidak boleh seseorang bermain-main padanya, tidak boleh dengan olok-olokan, tidak dengan penertawaan, dan tidak dengan penghinaan. Kalau orang mengerjakannya, maka dia jadi kafir, karena dia menunjukkan atas penghinaannya kepada Allah, para Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan syari’at-Nya. Orang yang mengerjakan itu wajib bertaubat kepada Allah dari apa yang ia perbuat, karena hal ini termasuk kemunafikan, maka wajib dia bertaubat kepada Allah, minta ampun dan memperbaiki amalnya, dan menjadikan di dalam hatinya takut Allah, mengagungkan-Nya, takut kepada-Nya, dan mencintai-Nya.

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.):

هذا الفعل وهو الاستهزاء بالله أو بكتابه أو برسوله أو دينه ولو كان على سبيل المزاح ولو كان سبيل إضحاك القوم فهو كفر ونفاق وهو نفس الذي وقع على عهد النبي صلى الله عليه وسلم في الذين قالوا ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء أرغب بطوناً و لا أكذب لساناً و لا أجبن عند اللقاء يعنون رسول الله وأصحابه القراء فنزلت فيهم ( ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب ) لأنهم جاءوا إلى النبي يقولون إنما كنا نتحدث حديث الركب نقطع به عناء الطريق . فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لهم ما أمره الله به ( أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزءون . لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم ) فجانب الربوبية والرسالة والوحي والدين جانب محترم لا يجوز لأحد أن يعبث فيه لا باستهزاء و لا بإضحاك و لا بسخرية فإن فعل فإنه كافر لأنه يدل على استهانته بالله ورسله وكتبه وشرعه وعلى من فعل هذا أن يتوب إلى الله مما صنع لأن هذا من النفاق فعليه أن يتوب إلى الله ويستغفر ويصلح عمله ويجعل في قلبه خشية الله وتعظيمه وخوفه ومحبته .

2. Hukum mengolok-olok Allah Ta’ala, Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam,

dan Sunnahnya shallallahu ‘alaihi wasallam.


Apa hukum mengolok-olok Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, atau sunnahnya shallallahu ‘alaihi wasallam?

Fatwa Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin:

Mengolok-olok Allah Ta’ala atau Rasul-Nya saw atau sunnahnya saw adalah perbuatan kafir dan murtad (kufur dan riddah), mengeluarkan manusia dari Islam karena perbuatannya itu. Karena firman Allah Ta’ala:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَاتَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَإِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-taubah/ 9: 65, 66).

Setiap orang yang mengolok-olok/ menghina Allah, atau Rasul-Nya, atau agama Rasulullah saw maka sesungguhnya dia kafir murtad. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah. Apabila ia bertaubat kepada Allah maka Allah menerima taubatnya. Karena firman Allah terhadap mereka yang mengolok-olok itu:

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ(66)

Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (QS At-taubah/ 9: 66).

Allah menjelaskan bahwa Dia mengampuni segolongan dari mereka, dan itu tidak terjadi kecuali dengan taubat kepada Allah dari kekafiran mereka yang tadinya karena olok-olokan mereka itu kepada Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya.

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.):

ما حكم الاستهزاء بالله تعالى أو برسوله صلى الله عليه وسلم أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم

________

الاستهزاء بالله تعالى أو برسوله صلى الله عليه وسلم أو سنة رسوله صلى الله عليه وسلم كفر وردة يخرج به الإنسان من الإسلام لقول الله تعالى (ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزءون . لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم ) . فكل من استهزأ بالله أو برسول الله صلى الله عليه وسلم أو بدين رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنه كافر مرتد يجب عليه أن يتوب إلى الله وإذا تاب إلى الله قبل الله توبته لقوله في هؤلاء المستهزئين ( لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم إن نعف عن طائفة منكم نعذب طائفة بأنهم كانوا مجرمين ) فبين الله أنه قد يعفو عن طائفة منهم و لا يكون ذلك إلا بالتوبة إلى الله من كفرهم الذي كان باستهزائهم بالله وآياته ورسوله . (محمد بن صالح العثيمن)

3. Mengolok-olok Orang yang Teguh dengan Perintah Allah dan Rasul-Nya

Apa hukum orang yang menghina orang yang teguh dengan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya?

Jawab Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin:

Mengolok-olok/ menghina orang yang teguh pada perintah-perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya karena keadaan mereka mentaati perintah-perintah itu, maka (penghinaan itu) diharamkan, dan sangat berbahaya bagi seseorang. Karena dikhawatirkan kebenciannya kepada mereka itu lantaran kebencian terhadap apa-apa yang ada pada diri mereka yaitu istiqomah/ konsisten di atas agama Allah. Ketika itu maka penghinaanya kepada mereka adalah penghinaan pada jalan mereka yang mereka jalani, maka menyerupai orang yang Allah firmankan atas mereka:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْكَفَرْتُمْ بَعْدَإِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman..” (QS At-taubah/ 9: 65, 66).

Ayat itu hanya turun mengenai kaum dari orang-orang munafiq yang berkata: “Belum pernah kami melihat orang seperti para ahli baca Al-Qur’an ini –maksud mereka adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya–, orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam perang”, maka Allah turunkan ayat ini mengenai mereka. Maka hendaknya berhat-hatilah orang-orang yang menghina ahli kebenaran karena keadaan mereka dari ahli agama. Allah berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ(29)وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ (30)وَإِذَا انْقَلَبُوا إِلَى أَهْلِهِمُ انْقَلَبُوا فَكِهِينَ(31)وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَؤُلَاءِ لَضَالُّونَ (32) وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ (33) فَالْيَوْمَ الَّذِينَءَامَنُوا مِنَ الْكُفَّارِيَضْحَكُونَ (34) عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ (35) هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ(36)

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman.

Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.

Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.

Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”,

padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mu’min.

Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,

mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.

Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS Al-Muthoffifien/ 83: 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36).

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt):.

الاستهزاء بالملتزمين و بأوامر الله تعالى ورسوله لكونهم التزموا بذلك محرم وخطير جداً على المرء لأنه يخشى أن تكون كراهته لهم لكراهة ما هم عليه من الاستقامة على دين الله وحينئذ يكون استهزاؤه بهم استهزاء بطريقهم الذي هم عليه فيشبهون من قال الله عنهم ( ولئن سألتهم ليقولن إنما كنا نخوض ونلعب قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزءون . لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم ) فإنما نزلت في قوم من المنافقين قالوا ما رأينا مثل قرائنا هؤلاء – يعنون رسول الله وأصحابه أرغب بطوناً و لا أكذب لساناً و لا أجبن عند اللقاء فأنزل الله فيهم هذه الآية . فليحذر الذين يسخرون من أهل الحق لكونهم من أهل الدين فإن الله يقول ( إن الذين أجرموا كانوا من الذين آمنوا يضحكون . وإذا مروا بهم يتغامزون وإذا انقلبوا إلى أهلهم انقلبوا فكهين وإذا رأوهم قالوا إن هؤلاء لضالون وما أرسلوا عليهم حافظين. فاليوم الذين آمنوا من الكفار يضحكون على الأرائك ينظرون . هل ثوب الكفار ما كانوا يفعلون ) .
4. Perkara-perkara Tauhid, Tidak Ada Kilah

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz:

Perkara-perkara Tauhid tidak ada alasan (dalih untuk berkilah) selama berada di antara kaum muslimin. Adapun orang yang jauh dari Muslimin dan jahil dengan itu maka urusannya ini pada Allah, dan hukumnya adalah hukum ahlil fatrot (masa jeda tidak adanya Nabi) pada hari qiyamat, di mana dia diuji. Adapun orang yang berada di antara Kaum Muslimin dan dia mendengar firman Allah swt dan sabda Rasul saw, dia tidak memperhatikan dan tidak mengarahkan pandangan, dan dia menyembah kuburan, meminta tolong padanya, atau mencaci agama; maka dia ini kafir, kafir dengan senyatanya, seperti ucapanmu “Fulan kafir”.

Wajib atas pemimpin yang memegang urusan, yaitu penguasa-penguasa muslimin, untuk meminta dia (pelaku itu) bertaubat . Apabila dia bertaubat (maka bebas), tetapi kalau tidak, maka dibunuh karena kafir (sesudah beriman). Demikian pula orang yang mengolok-olok agama, atau menghalalkan yang diharamkan Allah; seperti berkata, zina itu halal atau khamr (minuman keras) itu halal, atau menghukumkan undang-undang bikinan itu halal, atau berhukum kepada selain yang diturunkan Allah itu halal, atau bahwa ia lebih utama dari hukum Allah; semua ini murtad dari Islam, na’udzubillah (kami berlindung kepada Allah) dari yang demikian.

Wajib atas setiap pemerintahan Islam untuk berhukum dengan syari’at Allah, dan meminta bertaubat orang yang dirinya terdapat perbuatan yang merusak ke-Islamannya di antara rakyatnya. Apabila ia bertaubat (maka bebas), tetapi kalau tidak, maka wajib (hukumah itu) membunuhnya. Karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Siapa yang mengganti agamanya (dari Islam ke lainnya) maka kalian bunuhlah dia. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya). Dan dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Mu’adz bin Jabal ra bahwa ia memerintahkan sebagian pemimpin untuk membunuh orang murtad apabila ia tidak bertaubat. Dia berkata, sesungguhnya itu keputusan / ketentuan Allah dan Rasul-Nya, wajib untuk melaksanakan itu dengan perantara waliyul amri (pemimpin yang menguasai urusan Muslimin) dengan perantaraan mahkamah-mahkamah syar’iyyah sehingga terlaksana hukum Allah di atas ilmu dan penjelasan yang terang, dengan perantaraan pemimpin-pemimpin pemegang urusan Muslimin lah Allah memperbaiki keadaan semuanya. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.

(Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Mausu’ah al-Fatawa al-Islamiyyah, Az-Zuhri lilbaromajiyyat, Kairo, tt.):

أمور التوحيد.. لا عذر فيها.

الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز:

أمور التوحيد ليس فيها عذر ما دام موجودا بين المسلمين ، أما من كان بعيدا عن المسلمين وجاهلا بذلك فهذا أمره إلى الله ، وحكمه حكم أهل الفترات يوم القيامة ، حيث يمتحن ، أما من كان بين المسلمين ويسمع قال الله وقال رسوله ، ولا يبالي ولا يلتفت ، ويعبد القبور ويستغيث بها أو يسب الدين فهذا كافر ، يكفر بعينه ، كقولك فلان كافر ، وعلى ولاة الأمور من حكام المسلمين أن يستتيبوه فإن تاب وإلا قتل كافرا ، وهكذا من يستهزئ بالدين ، أو يستحل ما حرم الله : كأن يقول الزنى حلال أو الخمر حلال ، أو تحكيم القوانين الوضعية حلال ، أو الحكم بغير ما أنزل الله حلال ، أو أنه أفضل من حكم الله ، كل هذه ردة عن الإسلام نعوذ بالله من ذلك ،

فالواجب على كل حكومة إسلامية أن تحكم بشرع الله ، وأن تستتيب من وجد منه ناقض من نواقض الإسلام من رعيتها فإن تاب وإلا وجب قتله ، لقول النبي صلى الله عليه وسلم : من بدل دينه فاقتلوه أخرجه البخاري في صحيحه ، وفي الصحيحين عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنه أمر بعض الولاة بقتل المرتد إذا لم يتب وقال إنه قضاء الله ورسوله والواجب أن يكون ذلك بواسطة ولي الأمر بواسطة المحاكم الشرعية حتى ينفذ حكم الله على علم وبصيرة بواسطة ولاة الأمر أصلح الله حال الجميع إنه سميع قريب .

5. Meremehkan Islam Menjadikan Kafir

Fasal : Adapun perkataan Ibnu Taimiyyah, meremehkan Islam menjadikan kafir,

sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-taubah/ 9: 65, 66).

Saya tidak tahu adanya perbedaan di antara penukilan (ayat dan hadits) bahwa orang-orang yang dikenai turunnya ayat ini adalah karena perkataan mereka, bukan karena penentangan mereka terhadap Allah Ta’ala dengan ungkapan-ungkapan mereka, tetapi hanyalah karena mereka meremehkan Rasul-Nya. Peremehan mereka kepada Rasul-Nya itu menjadi penghinaan kepada-Nya swt, dan kepada ayat-ayat-Nya. Cukuplah dengan itu dia kafir.

Kemudian beliau (Ibnu Taimiyyah) menyebut apa yang dinukil dari kitab yang dikarangnya yang dinamai dengan as-Shorimul maslul ‘ala syatimir Rasul (pedang terhunus atas pencaci Rasul), dikatakan: Tidak diragukan bahwa peremehan terhadap Nabi saw adalah kufur. Dan berhujjah dengan ayat ini menunjukkan bahwa mengolok-olok Allah Ta’ala adalah kufur. Mengolok-olok ayat-ayat Allah Ta’ala adalah kufur. Dan mengolok-olok Rasul-Nya saw adalah kufur, dari segi bahwa mengolok-olok itu kafir dengan sendirinya dengan pasti. Maka tidak disebut mengolok-olok ayat-Nya dan Rasul-Nya sebagai syarat dalam hal itu. Telah diketahui bahwa mengolok-olok Rasul saw juga kufur. Kalau tidak, maka tidak ada faidahnya dalam menyebutkannya. Demikian pula mengolok-olok ayat-ayat.

Lagi pula sebenarnya olok-olok dengan perkara-perkara ini adalah berkait-kaitan. Siapa yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Ta’ala yang dibawa Rasul saw maka dia mengolok-olok Rasul saw secara pasti. Dan siapa yang mengolok-olok Rasul saw maka dia mengolok-olok risalahnya (kerasulannya) dengan nyata. Dan siapa yang mengolok-olok ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya maka dia mengolok-olok-Nya. Siapa yang mengolok-olok Allah maka dia mengolok-olok ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya dengan jalan pertama.

(Ibnu Taimiyyah 661-728H, Arroddu ‘alal bakri/ talkhish kitab al-istighotsah, maktabah al-ghuroba’ al-atsariyah, mainah, cet 1, 1417, muhaqqiq Muhammad Ali ‘Ajal):

الرد على البكري ج: 2 ص: 665

فصل وأما قوله وجعل الاستخفاف به كفرا كما قال الله تعالى قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزئون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم ولا أعلم خلافا بين النقلة أن الذين نزلت فيهم هذه الآية بسبب كلامهم لم يكونوا تعرضوا لله تعالى بعباراتهم و إنما تنقصوا رسوله فجعل استخفافهم برسوله استهزاء به سبحانه و بآياته و كفى بذلك كفرا ثم ذكر ما نقله من الكتاب الذي صنفه المسمى بالصارم المسلول على شاتم الرسول فيقال لا ريب أن الاستخفاف بالنبي صلى الله عليه وسلم كفر و الاحتجاج بهذه الآية يدل على أن الاستهزاء بالله تعالى كفر و بآيات الله تعالى كفر و برسوله صلى الله عليه وسلم كفر من جهة أن الاستهزاء كفر وحده بالضرورة فلم يكن ذكر الاستهزاء بآياته و برسوله شرطا في ذلك فعلم أن الاستهزاء بالرسول صلى الله عليه وسلم أيضا كفر وإلا لم يكن في ذكره فائدة و كذلك الاستهزاء

الرد على البكري ج: 2 ص: 666

بالآيات

و أيضا فإن الاستهزاء بهذه الأمور متلازم فإن من استهزاء بآيات الله تعالى التي جاء بها الرسول صلى الله عليه وسلم فهو مستهزئ بالرسول صلى الله عليه وسلم ضرورة و من استهزأ بالرسول صلى الله عليه وسلم فهو مستهزئ برسالته حقيقة ومن استهزأ بآيات الله ورسوله فهو مستهزئ به ومن استهزأ بالله فإنه مستهزئ بآياته ورسوله بطريق الأولى

Ancaman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا عَمِلُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ(33)

Dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 33).

وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ(34)

ذَلِكُمْ بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لَا يُخْرَجُونَ مِنْهَا وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ(35)

Dan dikatakan (kepada mereka): “Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong.

Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 34, 35).
Dipublikasikan kembali oleh www.kongabay.blogspot.com (25 Oktober 2011)

Jumat, 21 Oktober 2011

ADAB BERHUBUNGAN INTIM (PASUTRI)

Adab Berhubungan Intim, Agar Kenikmatannya Berpahala

Feb 24 Posted by SALAFIYUNPAD™

Saudaraku, wahai para suami dan para istri, sesungguhnya jima’ (hubungan intim suami istri) adalah salah satu masalah penting yang mendapatkan perhatian dari Islam, dan Islam telah menetapkan kaidah-kaidah dan adab-adabnya, supaya tabiat manusia tidak seperti binatang yang tidak memiliki aturan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan manusia di atas makhluk-makhluk yang Allah ciptakan, sebagaimana firman-Nya:

( وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً) (الاسراء:70)

”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa’: 70)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menanamkan pada setiap manusia hasrat biologis (seksual) dan Dia menjadikan untuk manusia cara yang syar’i untuk menuanaikan atau menyalurkan hasrat seksual tersebut, dan hal ini supaya tidak menimbulkan timbul kekacuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan kaidah-kaidah dan adab-adab dalam menyalurkan hasrat seksual tersebut (jima’), dan di antara adab-adab yang harus diperhatikan tersebut adalah sebagai berikut:

Ikhlash

Yaitu mengikhlaskan niat semata-mata karena Allah dalam melakukan perbuatan ini, maka dia meniatkan dengan jima’ ini untuk menjaga diri dan keluarganya (istrinya) dari hal-hal yang diharamkan (zina), dan juga dalam rangka ikut andil dalam memperbanyak keturunan (generasi Islam). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memotivasi umatnya untuk menikah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menghabarkan bahwa beliau bangga dengan banyaknya jumlah beliau pada hari kiamat.

Dan anda wahai pasangan suami istri, mendapatkan pahala atas hubungan intim yang kalian lakukan apabila kalian meluruskan niat kalian. Dari Abi Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( وفي بُضع أحدكم صدقة ) – أي في جماعه لأهله – فقالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال عليه الصلاة والسلام : ( أرأيتم لو وضعها في الحرام ، أكان عليه وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر ) رواه مسلم

”Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan intim) terhadap istrinya- Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya (menunaikan syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah apabila dia menunaikannya (jima’) di tempat yang haram dia akan mendapatkan dosa?” Maka demikian juga seandainya dia menunaikannya di tempat yang halal (istrinya) maka dia akan mendapatkan pahala.”(HR. Muslim)

Maka sungguhn luar biasa keutamaan ini, kita bisa menunaikan hajat biologis kita seklaigus mendapatkan pahala.

Cumbu rayu dan pemanasan

Benar, cumbu rayu dan pemanasan adalah salah satu adab yang hendaknya diperhatikan. Banyak sekali para suami yang tidak memperhatikan masalah ini, yang terpenting bagi mereka hanyalah menunaikan syahwat dan hasrat mereka saja dan mereka lupa bahwa rayuan dan pemansan (foreplay) sebelum jima’ memiliki pengaruh yang besar dalam membangkitkan syahwat istri dan meningkatkan keingannya untuk berhubungan intim supaya dia (istri) benar-benar siap untuk jima’ dan berbagi kenikmatan jima’ dengan suaminya. Adapun apabila sang suami langsung berjima’ tanpa melakukan foreplay, bisa jadi dia telah selesai menunaikan syahwatnya sedangkan istrinya belum sampai pada puncak kenikmatan atau belum mendapatkannya.

Ibnu Qudamah rahimahullah:”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya. Dan telah diriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah bahwasanya dia berkata:”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).

Dan termasuk bentuk cumbu rayu adalah berciuman, memainkan dada (payudara), dan bersentuhan kulit dengan kulit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu mencium istrinya sebelum jima’. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiyallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan janda:

“فهلا بكراً تلاعبها وتلاعبك” (رواه الشيخان)، ولمسلم “تضاحكها وتضاحكك”

”Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” (HR. Biukhari dan Muslim) dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”

Membaca do’a (yang dicontohkan) sebelum melakukannya

Do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum jima’ adalah sebagai berikut:

( بسم الله اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا )

“Bismillah (dengan nama Alah), Ya Allah jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkan syetan dari apa yang engkau rizqikan kepada kami (anak).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( لو أن أحدهم إذا أراد أن يأتي أهله قال: بسم الله اللهم جنبنا الشيطان، وجنب الشيطان ما رزقتنا. فإنه إن يُقدر بينهما ولد في ذلك لم يضره شيطانٌ أبداً ) رواه البخاري ومسلم

”Sesungguhnya apabila seseorang ingin mengauli istrinya (jima’) mengucapkan:”(Doa di atas) Maka apabila ditaqdirkan untuk keduanya seoarang anak dalam hubungan itu (jima’) maka syetan tidak akan mengganggunya selama-lamanya”(HR.al-Bukhari dan Muslim)

Gaulilah ditempat yang ditentukan

Gaulilah istri pada tempat yang ditentukan yaitu farji (kemaluan/vaginanya), dan diperbolehkan menggaulinya dari arah mana saja yang penting di kemaluannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

( نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) (البقرة:223)

”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” (QS. Al-Baqarah: 223)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata:”Dahulu orang-orang Yahudi berkata:’Apabila seseorang menggauli istrinya pada kemaluannya dari arah belakang maka anaknya (apabila lahir) akan juling! Maka turunlah firman Allah:

( نساؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم )

”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki..” (QS. Al-Baqarah: 223)

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
( مقبلة ومدبرة إذا كان ذلك في الفرج ) رواه البخاري ومسلم .

”Dari depan maupun belakang (boleh dilakukan) apabila hal itu pada kemaluannya”(HR.al-Bukhari dan Muslim)

Adapun menggauli istri pada duburnya maka itu adalah perbuatan yang diharamkan, tidak boleh dilakukan, dan menyalahi fithrah manusia yang telah ditetapkan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( من أتى حائضاً أو امرأة في دبرها أو كاهناً فصدقه بما يقول، فقد كفر بما أنزل على محمد ) رواه أبو داود

”Baarng siapa menggauli (jima’) perempuan (istrinya) haidh atau pada duburnya atau mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya maka dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam”(HR. Abu Dawud)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( ملعون من يأتي النساء في محاشِّهن ). رواه ابن عدي و صححه الألباني في آداب الزفاف.

”Terlaknatlah orang yang menggauli wanita di duburnya”(HR. Ibnu ‘Adi rahimahullah dan dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam kitab Adabuz Zifaf)

Faedah

Posisi terbaik dalam berhubungan intim adalah laki-laki berada di atas dan perempuan di bawah, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Zaadul Ma’ad:”Dan posisi jima’ terbaik adalah seorang laki-laki di atas perempuan dan menidurinya setelah melakukan cumbuan dan ciuman. Dan karena posisi seperti inilah perempuan dinamakan kasur (bagi suaminya), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:”Anak adalah milik firasy/kasur (perempuan)” Dan ini adalah kesempurnaan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuian, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

(الرجال قوامون على النساء)

”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”(QS. An-Nisaa’)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

(هن لباس لكم وأنتم لباس لهن)

”Mereka(para wanita/istri) itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. “ (QS. Al-Baqarah:187)

Dan posisi paling buruk dalam berhubungan intim adalah seorang wanita di atas laki-laki dan menggaulinya lewat belakang (dengan posisi seperti itu), dan itu menyelisihi posisi yang telah menjadi tabiat manusia yang telah Allah tetapkan untuk laki-laki dan perempuan, bahkan untuk jenis jantan dan perempuan. Dan dalam posisi seperti itu banyak mudharatnya, diantaranya, mani laki-laki sulit keluar seluruhnya, dan terkadang sisa air mani itu tertinggal dalam tubuh dan akhirnya membahayakan kesehatannya. Dan juga rahim perempuan susah untuk menampung mani dari laki-laki untuk diciptakan darinya bayi, pada posisi seperti itu. Dan juga perempuan adalah obyek baik secara tabiat naupun secara syar’i, maka apabila dia menjadi subyek (pelaku) maka maka dia telah menyalahi kosekuensi syariat dan tabi’atnya” (ringkasan dari Zaadul Ma’ad)

Jangan disebarkan apa yang terjadi antara kalian berdua di ranjang

Kebanyakan orang mengira bahwa menyebarkan atau menceritakan apa yang terjadi antara suami istri di ranjang adalah sesuatu yang boleh, dan sebagian yang lain menganggap bahwa hal itu adalah bentuk kejantanan, bahkan di antara wanita ada yang menceritakan hal itu kepada anak-anak. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah sesuatu yang diharamkan dan pelakunya adalah termasuk manusia yang paling buruk. Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( إن من أشرِّ الناس عند الله منزلة يوم القيامة الرجلُ يُفضي إلى امرأته وتُفضي إليه ثم ينشر سرها ) رواه مسلم .

”Sesungguhnya yang termasuk manusia paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki-laki yang menggauli istrinya lalau dia menceritakan rahasianya (jima’ tersebut)”(HR Muslim)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:”Dan dalam hadits ini ada pengharaman bagi seorang laki-laki menyebarluaskan apa yang terjadi antara dia dengan istrinya berupa jima’, dan menceritakan secara detail hal itu dan apa yang terjadi dengan perempuan pada kejadian itu (jima’) berupa ucapan (desahan) maupun perbuatan dan yang lainnya. Adapun sekedar menyebutkan kata jima’, apabila tidak ada faidah dan keperluan di dalamnya maka hal itu makruh karena bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:


( من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت )

”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa) diam.”

Adapun apabila ada keperluan atau faidah untuk membicarakannya, seperti untuk mengingkari keengganan suami dari istrinya, atau istri menuduh suami tidak mampu jima’ (lemah syahwat) dll maka hal ini tidak makruh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:”Sungguh aku dan orang ini (istrinya) telah melakukannya” Dan beliau juga bersabda:”Apakah engkau melakukan hubungan intim”. Wallahu A’lam. Selesai perkataan imam Nawawi.

Dianjurkan untuk wudhu apabila ingin mengulangi jima’

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

( إذا أتى أحدكم أهله ثم أراد أن يعود فليتوضأ ) .رواه مسلم

”Apabila salah seorang di antara kalian menggauli istrinya (jima’), lalu dia ingin mengulanginya maka berwudhulah”(HR.Muslim)

Wajib mandi junub setelahnya

Maka kapan saja terjadi pertemuan antara dua kemaluan (walaupun tidak keluar mani), atau keluar mani maka wajib untuk mandi junub, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

( إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ ) وفي رواية : ( مسّ الختان الختان ) فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْل ) رواه مسلم

”Apabila kemaluan (laki-laki) melewatui kemaluan (perempuan)” dan dalam riwayat yang lain:”kemaluan menyentuh kemaluan maka wajib mandi.”(HR.Muslim)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

” إنما الماء من الماء ” رواه مسلم .

”Sesungguhnya air (mandi junub) itu disebabkan karena air (keluar mani)”(HR. Muslim)

Faidah

Diperbolehkan bagi siapa yang wajib mandi junub untuk tidur dan menunda mandinya sampai waktu dia bangun untuk shalat shubuh atau yang lainnya.

Barang siapa yang ingin tidur (dalam keadaaan junub) disunahkan (sunnah muakkad) untuk berwudhu sebelum tidurnya, sebagaimana hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:”Apakah boleh salah seorang di antara kami tidur dalam keadaan junub?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

( نعم ، ويتوضأ إن شاء ) رواه ابن حبان

”Boleh dan dia berwudhu kalau mau”(HR Ibnu Hibban)

Hindari dia ketika sedang haidh

Tidak diperbolehkan menggauli istri ketika dia sedang haidh, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

( وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ) (البقرة:222)

”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Hukuman bagi yang melakukannya

Bagi siapa yang menggauli istrinya yang haidh diwajibkan untuk bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar, sebagaimana hal itu telah pasti (ada riwayat) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau menjawab pertanyaan seseorang yang bertanya tentang hal tersebut.

Faidah:

Diperbolehkan bersenang-senang dengan istri yang haidh asalkan tidak di kemaluannya, sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر إحدانا إذا كانت حائضا أن تتزر ثم يضاجعها زوجها. متفق عليه.

”Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh salah seorang di antara kami (kaum wanita), apabila kami haidh untuk memakai sarung lalu suaminya menggaulinya.” (Mutaffaq ‘alaihi)

Perhatikan kondisi kejiwaan pasangan anda

Lihatlah kondisi dan kejiwaan pasangan anda, mungkin saja dia lagi kurang berminat untuk berhubungan intim karena sakit, capek atau yang lainnya.

Lihatlah kondisi fisik pasangan

Perhatikanlah kondisi pasangan, kadang kala dia merasa lelah dengan banyaknya jima’ demikian halnya juga kadang suami lelah karena hal itu. Maka wajib bagi masing-masing pasangan untuk memahami dan memperhatikan hal ini dan bersikaplah qona’ah (merasa puas) dengan yang ada.

Jangan egois

Wajib bagi seoarang suami untuk memuaskan hasrat istrinya, dan janganlah dia meyudahi kegiatan hubungan intim tersebut sebelum istrinya mendapatkan kepuasan.

Jangan mengkhayalkan orang lain

Tidak boleh seorang suami mengkhayalkan perempuan lain ketika sedang berjima’ bersama istrinya, demikian juga tidak boleh bagi istri untuk berbuat demikian.

’Azl diperbolehkan dengan ridha pasangannya

Pendapat ini dipilih oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, mungkin dalil yang dipakai oleh beliau adalah hadits Jabir radhiyallahu’anhuma, bahwasanay beliau berkata:

كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم ينهنا . رواه البخاري ومسلم .

”Dahulu kami melakukan ‘Azl pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu hal tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau tidak melarangnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Makna ‘Azl adalah seorang laki-laki mencabut kemaluannya dari kemaluan istrinya (ketika hubungan intim) sebelum dia mengeluarkan air mani, lalu dia mengeluarkan maninya di luar.

Menjauh dari anak ketika berhubungan intim

Dalam kondisi adanya anak maka yang termasuk adab jima’ adalah menjauh dari mereka, dan menghindari perkataan-perkataan yang yang berbau asmara dihadapan mereka, dan tidak dikecualikan dari hal ini, kecuali yang belum paham dengan masalah ini yaitu anak kecil sampai batas maksimal 3 tahun. Dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma apabila beliau ingin berjima’ beliau mengeluarkan anak yang masih menyusu (dari tempat itu)

Dipublikasikan kembali oleh www.kongabay.blogspot.com Sabtu 22/10/2011
(Sumber: Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari آداب الجماع dari http://www.zawjan.com/art-418.htm oleh Abu Yusuf Sujono dan www.Salafiyunpad.wordpress.com dari alsofwah.or.id)

Panduan Praktis berwudhu

Panduan Praktis Tata Cara Wudhu
Kategori Fiqh dan Muamalah | 12-01-2010

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.

Kedudukan wudhu dalam sholat

Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ »

“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]

Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu

Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global

Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],

Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

Syarat-Syarat Wudhu[9]

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu

Islam,
Berakal,
Tamyiz[11],
Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.

Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.

Wajib Wudhu

Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »

“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]

Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].

Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ »

“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah”.[21]

Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »

“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]

Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ

وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »

“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].

Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »

“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].

Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »

“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,

« الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ »

“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »

“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].

Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.

(QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »

“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,

« إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ »

“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].

Muwalah

Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[40].

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].

Sunnah Wudhu

Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »

“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[45].

Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

«وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].

Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا »

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].

Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ »

“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].

Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا

Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].

Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,

أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا

“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].

Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ ».

“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].

Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[62].

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab

Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H

Penulis: Aditya Budiman

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Dipublikasikan kembali oleh www.kongabay.blogspot.com dari Artikel www.muslim.or.id
[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]

[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.

[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.

[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.

[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.

[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.

[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu A’lam.

[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.

[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar.

[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I

[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 69/I ]

[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].

[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.

[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.

[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.

[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103 cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.

[21] HR. Muslim no. 237.

[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.

[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.

[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.

[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.

[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]

[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.

[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 102/III.

[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.

[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.

[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 117/I.

[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalam Ash Shohihah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.

[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.

[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA].

[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.

[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.

[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]

[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.

[42] HR. Mulsim no. 243.

[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.

[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I], lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai uban”.

[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.

[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.

[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.

[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.

[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.

[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Adz Dzahabi.

[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.

[52] HR. Bukhori 158.

[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.

[54] HR. Bukhori 186.

[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab hal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.

[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.

[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.

[59] HR. Muslim no. 234.

[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.

[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]

[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.

Senin, 17 Oktober 2011

Mari Menghidupkan Sunnah Nabi
Kategori Manhaj | 22-05-2010 | 4 Komentar

Seorang muslim yang mengaku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupannya, terlebih lagi jika dia mengaku sebagai ahlus sunnah. Karena konsekwensi utama seorang yang mengaku mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah selalu berusaha mengikuti semua petunjuk dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ ويَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Ali ‘Imran:31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya”[1].

Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit”[2].

Kedudukan dan Keutamaan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Islam

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[3], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala sendiri yang memuji semua perbuatan dan tingkah laku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam firman-Nya,

{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak/tingkah laku yang agung” (QS al-Qalam:4).

Ayat yang mulia ini ditafsirkan langsung oleh istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika beliau ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an“[4].

Ini berarti bahwa Rasulullah r adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[5].

Demikian pula dalam firman-Nya Ta’ala,

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[6].

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam“[7].

Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“[8].

Karena agung dan mulianya kedudukan sunnah inilah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran khusus bagi orang yang selalu berusaha mengamalkan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((من أحيا سنة من سنتي فعمل بها الناس، كان له مثل أجر من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئاً))

“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“[9].

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibn Majah” pada bab: (keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang telah ditinggalkan (manusia)[10].

Bahkan para ulama menjelaskan bahwa orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia”[11].

Semangat Para Ulama Ahlus Sunnah dalam Meneladani Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para ulama Ahlus sunnah adalah sebaik-baik teladan dalam semangat mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, dan karena inilah Allah Ta’ala memuliakan mereka.

Sampai-sampai imam Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri dalam ucapannya yang terkenal pernah berkata, “Kalau kamu mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan (mencontoh) sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka lakukanlah!”[12].

Demikian pula ucapan imam ‘Amr bin Qais al-Mula’i[13], “Kalau sampai kepadamu suatu kebaikan (dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka amalkanlah, meskipun hanya sekali, supaya kamu termasuk orang-orang yang mengerjakannya”[14].

Bahkan semangat dalam mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang menjadi ukuran kebaikan seorang muslim menurut para ulama tersebut.

Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”[15].

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus sunnah sangat mengagungkan dan memuji orang yang semangat menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata[16], “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi[17] adalah seorang imam yang disepakati keimamannya (oleh para ulama Ahlus sunnah) dan sangat tinggi kedudukannya. Bersamaan dengan itu, beliau adalah orang yang paling semangat mengikuti sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di zamannya. Sampai-sampai beliau mengatakan: “Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku selalu mengamalkannya…”. Maka (ketika) seorang ulama Ahlus sunnah di jamannya ditanya tentang (arti) as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), yang disebutkan dalam hadits “Kalau orang-orang berselisih (pendapat dalam agama) maka hendaknya kalian mengikuti as-sawaadul a’zham“[18], ulama tersebut menjawab: “Muhammad bin Aslam ath-Thuusi dialah as-sawaadul a’zham“.

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Demi Allah, benar (ucapan ulama tersebut), karena sesungguhnya jika pada suatu zaman, ada seorang yang memahami sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (mengamalkannya) dan menyeru (manusia) untuk mengikutinya, maka dialah hujjah (argumentasi penegak kebenaran di jamannya), dialah ijma’ (kesepakatan/konsensus para ulama Ahlus sunnah), dialah as-sawaadul a’zham (kelompok terbesar/Ahlus sunnah), dan dialah sabilul mu’minin (jalannya orang-orang yang beriman), yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya, maka Allah akan membiarkan dia (dalam kesesatan) yang diinginkannya dan Allah akan masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”[19].

Senada dengan ucapan di atas, imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku telah mengamalkannya, sehingga ketika sampai kepadaku hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dan memberikan (upah) satu dinar kepada Abu Thaibah (tukang bekam), maka ketika aku berbekam aku memberikan (upah) satu dirham kepada tukang bekam”[20].

Bahkan para ulama Ahlus sunnah, jika mereka mendapati satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum mereka ketahui dan amalkan sebelumnya, maka mereka menganggap itu adalah sebuah kerugian dan musibah besar yang menimpa mereka. Sebagaimana yang terjadi pada imam Ahmad bin Hambal, ketika dia mendengar satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang belum sampai kepada beliau sebelumnya, beliau mengatakan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun (zikir yang diucapkan ketika ditimpa musibah), satu sunnah dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai kepadaku (sebelum ini)?”[21].

Ini semua karena mereka memahami dengan yakin bahwa orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling banyak mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing petunjuk yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada satu bagian dari kebaikan, yang ini berarti semakin banyak seseorang menghimpun kebaikan tersebut dalam dirinya, maka semakin sempurna pula keimanannya[22]. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan/kebaikan)[23] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Peringatan dan Nasehat Penting

Kalau kita membandingkan sikap para ulama Ahlus sunnah di atas dengan sikap sebagian dari orang-orang muslim zaman sekarang, maka kita akan mendapati perbedaan yang sangat jauh sekali. Karena orang-orang muslim zaman sekarang hanya mau mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal-hal yang wajib saja. Adapun anjuran dan adab-adab beliau lainnya, maka mereka sama sekali tidak semangat meneladaninya.

Bahkan sebagian dari mereka, jika dihimbau untuk melaksanakan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukannya berusaha segera mengamalkannya, tapi malah berkelit dengan melontarkan pertanyaan yang menunjukkan keengganannya: “Lihat dulu, apakan sunnah tersebut hukumnya wajib atau hanya sekedar anjuran? Kalau hanya anjuran kan tidak berdosa jika ditinggalkan…”.

Sikap seperti ini jelas sangat bertentangan dengan sikap para ulama Ahlus sunnah dalam masalah ini. Karena dalam semangat mengejar keutamaan dan meraih pahala dari Allah Ta’ala, para ulama Ahlus sunnah tidak membeda-bedakan antara amalan yang wajib dengan amalan yang bersifat anjuran, dan mereka berusaha untuk mengerjakankan semua amalan yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

Imam al-Qurthubi berkata, “Barangsiapa yang terus-menerus meninggalkan sunnah-sunnah (rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka ini (menunjukkan) kekurangan (kelemahan/celaan) dalam agamnya. Apalagi kalau dia meninggalkan sunnah-sunnah tersebut karena meremehkan dan tidak menyukainya, maka ini kefasikan (rusaknya iman), karena adanya ancaman dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membenci sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku“[24]. Dulunya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka selalu komitmen melaksanakan sunnah-sunnah (yang bersifat anjuran) seperti komitmen mereka dalam melaksanakan amalan-amalan yang wajib (hukumnya), mereka tidak membeda-bedakan kedua (jenis) amalan tersebut dalam (semangat) meraih pahala (dan keutamaan)nya. Dan (tujuan) para ulama ahli fikih dalam membedakan (kedua jenis amalan tersebut dalam masalah hukum) karena (berhubungan dengan) konsekwensi yang harus dilakukan, berupa wajibnya mengulangi perbuatan tersebut atau tidak, dan wajib atau tidaknya memberikan hukuman (karena) meninggalkannya”[25].

Oleh karena itu, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin sangat mengingkari orang yang melakukan perbuatan ini, dalam sebuah nasehat beliau yang sangat berharga[26], bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang melakuakan perbuatan tersebut dikhawatirkan terancam masuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

{وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}

“Dan Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka sebagaimana awalnya dulu mereka tidak beriman, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS al-An’aam:110).

Mirip dengan kasus di atas, syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin juga pernah ditanya tentang seorang penuntut ilmu, yang kalau dia ditanya oleh orang awam tentang masalah-masalah ibadah, maka dia hanya menjelaskan hal-hal yang wajib saja dan tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran, dengan alasan dia tidak ingin memberatkan/membebani mereka. Maka syaikh al-’Utsaimin berkata, “Orang yang hanya menjelaskan hal-hal yang wajib dalam syariat Islam (tanpa menjelaskan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran) adalah termasuk orang yang menyembunyikan ilmu[27], karena wajib bagi penuntut ilmu untuk menjelaskan (kepada masyarakat) hal-hal yang wajib dan hal-hal yang bersifat anjuran, setelah itu dia menjelaskan kepada mereka: ini (hukumnya) wajib dan ini anjuran, barangsiapa yang melaksanakan yang wajib maka itu mencukupinya, dan barangsiapa yang melaksanakan hal-hal yang (bersifat) anjuran maka akan bertambah pahala (keutamaan)nya. Adapun jika dia (sengaja) tidak menjelaskan sunnah-sunnah yang (bersifat) anjuran karena (alasan) takut memberatkan orang awam (maka ini jelas tidak dibenarkan), karena demi Allah, dia tidak lebih penyayang dari pada Allah kemudian dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan kepada umatnya hal-hal yang wajib dan sunnah-sunnah yang bersifat anjuran. Maka sampaikanlah nasehatku kepada pemuda tersebut: hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan menjelaskan kepada masyarakat (awam) hal-hal yang wajib dan yang bersifat anjuran, sehingga kalau mereka mengamalkan hal-hal yang bersifat anjuran berdasarkan ilmu yang disampaikannya, maka dia akan mendapatkan pahala (yang besar) …”[28].

Penutup

Setelah kita memahami besarnya keutamaan menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semangatnya para ulama Ahlus sunnah dalam mengamalkannya, maka masihkah kita ragu untuk mengambil bagian dari keutamaan dan kemuliaan yang agung ini? Tidakkah kita ingin meraih keutamaan yang lebih besar lagi di akhirat nanti, yaitu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi pemimpin dan imam yang akan membela kita dihadapan Allah Ta’ala ketika kita mengahadap-Nya nanti?

Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,

{يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ}

“(Ingatlah) suatu hari (yang pada waktu itu) Kami memanggil tiap orang dengan pemimpinnya” (QS al-Israa:71).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Salah seorang ulama salaf berkata: “Ayat ini (menunjukkan) kemuliaan yang sangat agung bagi orang-orang yang mencintai hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena imam (pemimpin) mereka (pada hari kiamat nanti) adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam“[29].

Oleh karena itu, salah seorang ulama Ahlus sunnah, Zakaria bin ‘Adi bin Shalt bin Bistam[30], ketika beliau ditanya, “Alangkah besarnya semangatmu untuk (mempelajari dan mengamalkan) hadits (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), (apa sebabnya?)”. Beliau menjawab, “Apakah aku tidak ingin (pada hari kiamat nanti) masuk ke dalam iring-iringan (rombongan) keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?“[31].

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita, amin.

Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[32]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 9 Dzulqa’dah 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Sumber dari artikel www.muslim.or.id Dipublikasikan kembali oleh www.kongabay.blogspot.com (18 Oktober 2011)
[1] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).

[2] Kitab “asy-Syifa bita’riifi huquuqil mushthafa” (2/24).

[3] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40).

[4] HSR Muslim (no. 746).

[5] Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).

[6] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).

[7] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).

[8] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

[9] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih sunan Ibnu Majah” (no. 173).

[10] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).

[11] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).

[12] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/216).

[13] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r, dari kalangan atba’ut tabi’in (wafat setelah 140 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381).

[14] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/219).

[15] Ibid (1/168).

[16] Kitab “Ighatsatul lahfaan min mashaayidisy syaithaan” (1/70).

[17] Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, syaikhul Islam Abul Hasan al-Kindi al-Khuraasaani (wafat 242 H), lihat biografi beliau dalam “Siyaru a’laamin nubala’” (12/195).

[18] HR Ibnu Majah (no. 3950) dan lain-lain, hadits sangat lemah, karena dalam sanadnya ada Abu Khalaf Haazim bin ‘Ahta’ al-A’ma, dia adalah seorang perawi yang matruk (ditinggalkan riwayatnya), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 381). Hadits ini dilemahkan oleh al-’Iraqi, al-Haitsami dan al-Albani.

[19] Sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman Allah QS an-Nisaa’:115.

[20] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/220).

[21] Dinukil oleh imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Talbiisu Ibliis” (hal.398).

[22] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[23] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[24] HSR al-Bukhari (no. 4776) dan Muslim (no. 1401).

[25] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Baari” (3/265).

[26] Lihat nasehat tersebut dalam kitab “Washaaya wa taujiihaat li tullaabil ‘ilmi” (1/55-57).

[27] Ini adalah termasuk dosa besar, berdasarkan HR Ibnu Majah (no. 266) dan dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[28] Liqa-aatul baabil maftuuh (1/388-389), pertanyaan no. 525.

[29] Tafsir Ibnu Katsir (3/73).

[30] Beliau adalah imam yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (wafat 212 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 166).

[31] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/74).

[32] Doa yang selalu diucapkan oleh imam Ahmad bin Hambal, dinukil oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab “Tarikh Baghdad” (9/349).